Wednesday, August 27, 2008

Puasa Itu "Luar Biasa"

Oleh : M. Rum Budi S.
Untuk menikmati bahwa "Puasa Itu Luar biasa", coba ingat-ingat kembali secara cermat dan tanyakan pada diri sendiri apa yang sudah anda siapkan setiap akan memasuki bulan puasa?. Benarkah kita mendapatkan maknanya dan hikmahnya dari bulan agung itu?. Bisakah kita merasakan bahwa betapa besar nikmat untuk melaksanakan ibadah saum sebulan penuh itu?. Betulkah perjalanan harian amal kita di bulan puasa itu mendapatkan ridho Allah, dan hanya untuk Allah ? Apakah kita dapat menjaga keikhlasan dalam menunaikan perintah-Nya?.

Rasulullah Saw. dalam meriwayatkan Hadis Qudsi menyatakan, bahwa Allah Swt. berfirman:"Semua amal perbuatan Bani Adam menyangkut dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan karena itu Akulah yang langsung membalasnya. Puasa itu ibarat perisai. Pada hari melaksanakan puasa, janganlah orang yang berpuasa mengucapkan kata-kata kotor, tidak sopan, dan tidak enak didengar, dan jangan pula ribut hingar bingar bertengkar. Jika di antara kalian memaki atau mengajak berkelahi, hendaknya mengatakan kepadanya:"Saya sedang berpuasa".

Selanjutnya Nabi Saw. bersabda: "Demi Allah yang diri Muhammad di dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dari bau minyak kesturi". Dan bagi orang yang berpuasa tersedia dua kegembiraan, gembira ketika berbuka puasa karena bukanya, dan gembira ketika kelak menemui Rabb-Nya karena menerima pahala puasanya (HR Syaikhani, Nasa'i, dan Ibnu Hibban yang bersumber dari Abu Hurairah).

Keikhlasan orang puasa memang "luar biasa" sehingga pantaslah kalau pahalanya sangat besar dan penghargaan Allah sangat tinggi. Allah dan Rasul-Nya mengajarkan kepada orang mukmin yang berpuasa itu untuk tidak riya' atau pamer. Orang yang lapar dan bau mulutnya sepertinya tidak pantas dipamerkan. Riya’ itu terjadi karena
ada yang dibanggakan terhadap sesama manusia, sedangkan puasa itu ibadah yang secara lahiriah tidak bisa dibanggakan terhadap manusia. Ibadah puasa itu tidak bisa dinilai dari gerakan-gerakannya, sehingga puasa betul-betul dipahami sebagai ibadah yang tidak diketahui oleh orang lain. Allah sendirilah yang mengetahui ukuran pahala puasa dan penggandaan upahnya. Adapun ibadat-ibadat lainnya dapat dibanggakan dan diketahui oleh sebagian orang lain. Dalam hadist Qudsi di atas Allah berfirman:"Puasa itu untuk-Ku, dan Aku memberi balasan atasnya" hal itu menunjukkan bahwa puasa itu adalah ibadat yang paling disukai oleh-Nya, dan mengajarkan kepada orang mukmin beribadah secara ikhlas yang menjadi landasan semua kemuliaan.

Rasullullah Saw pernah memberi pelajaran kepada umatnya :” Puasa yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata-mata akan bernilai sepuluh kebajikan. Orang yang puasa di bulan Ramadhan dan diiringi dengan puasa enam hari di bulan Syawwal (ctt:setelah bulan Ramadhan) dinilai sama dengan puasa sepanjang tahun, yaitu tiga puluh hari kali sepuluh sama dengan tiga ratus, ditambah dengan enam kali sepuluh, sama dengan enam puluh. Bearti jumlah semuanya adalah 360 hari menurut kalender syamsiah (matahari).

"Satu kebajikan (dibalas) menjadi sepuluh kali lipat sedangkan kejahatan dibalas seimbang dengan dosanya atau Kuampuni sama sekali meskipun dia menghadap Aku dengan kesalahan-kesalahan hampir sebesar Bumi. Barangsiapa merencanakan hendak melaksanakan suatu kebaikan, tetapi belum dikerjakan, akan dicatat (oleh Malaikat) baginya suatu kebajikan.Dan barangsiapa merencanakan hendak melakukan satu kejahatan tapi belum dikerjakannya, tidaklah dicatatkan baginya sedikit pun (yang dianggap sebagai doa). Dan barangsiapa mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Dan barangsiapa yang mendekatkan dirinya kepada-Ku sehasta, akau akan mendekat kepadanya sedepa (HR Thabrani yang bersumber dari Abu Dzar).

Perangkat utama dari keikhlasan adalah niat sehingga nabi mengingatkan benar tentang niat puasa ini? "Barangsiapa yang tidak menetapkan akan berpuasa sebelum fajar, maka tiada sah puasanya".(HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah). Daruqutni meriwayatkannya dengan redaksi yang berbeda: "Tidak sah puasanya bagi orang yang tidak menetapkannya dari malam harinya".

"Umatku dikarunia lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun yang sebelum mereka. Pertama, apabila malam pertama dari bulan Ramadhan tiba, maka Allah memandang mereka dengan belas kasih, dan barangsiapa yang dipandang Allah dengan belas kasih, maka Dia tidak akan mengazabnya sesudah itu buat selama-lamanya. Kedua, Allah Ta'ala menyuruh para Malaikat memohonkan ampun untuk mereka. Ketiga, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau kesturi. Keempat, Allah Ta'ala berkata kepada surga,'Berbahagialah hamba-hamba-Ku yang beriman, mereka adalah kekasih-kekasih-Ku. Dan kelima, Allah Ta'ala mengampuni mereka semua".(Al-Hadist).




2 comments:

Yudha Yudhanto said...

Tapi jangan lupa juga ini pak..“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa selain lapar, dan berapa banyak orang sholat di tengah malam tidak mendapatkan apa-apa selain begadang” (HR. Nasa’i).

Realitanya adalah :
Lebih banyak lagi yang menyia-nyiakan hari-hari di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan dijadikan sebagai bulan makan-makan dan tidur di siang harinya. Sehingga menyelisihi hikmah disyariatkannya puasa. Tiada aktivitas di siang hari selain menunggu datangnya berbuka. Tidur, bermain atau menghibur diri (kendati dengan perkara mubah) agar waktu serasa cepat berlalu dan waktu berbuka cepat datang. Ia justru tidak memanfaatkan Ramadhan sebagai bulan amal, menambah pahala dan sarana merenungi dosa-dosa yang telah dilakukan sebelumnya...

semoga kita bisa lebih baik dari hal itu ..amiin

Anonymous said...

Selama kita mau merenungkan dan mencoba merasakan puasa kita yang telah lalu dan kemudian mencoba memperbaikinya Insya Allah kita dapat pahalanya.