Tuesday, September 27, 2016

Wednesday, September 21, 2016

rizki itu given


RIZKI ITU “GIVEN
Oleh : RUM BUDI

Pengertian rizki sesungguhnya tidak hanya terbatas pada banyaknya harta dan uang, atau sebatas kekayaaan saja. Padahal kesehatan, keselamatan, kebahagiaan, pengetahuan, ketenangan adalah rizki yang dipahami oleh banyak orang bahwa nilainya jauh lebih besar dibanding dengan kekayaan harta benda. Secara umum rizki memang mempunyai dua pengertian, yang pertama mencakup pengertian bersifat nikmat fisik dan yang ke dua pengertian bersifat nikmat hati atau kejiwaan.

Adanya rizki manusia dalam kehidupan ini sudah ditentukan oleh Pemberi rizki yaitu Allah subhanahu wata’ala sebagai  “Al-Razzaq”, yang Maha Pemberi Rizki. Allah-lah pencipta, pemilik satu-satunya dan  penjamin semua jenis rizki makhluk-makhluk-Nya. Itulah Tauhid Rububiyyah sebagaimana Allah berfirman : Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS Az-Zukhruf: 32).

Jatah rizki manusia memang berbeda-beda, ada manusia yang kaya adapula yang miskin, semua terserah Allah kepada siapa saja yang dikehendakiNya. “Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Saba: 36).

Banyak manusia memang tidak tahu bahwa rizki itu “Given” atau jatah dari Allah dan kaya atau miskin itu dikehendaki oleh Allah pula. Manusia merasa bahwa harta dan anak yang dimiliki itu atas hasil usahanya. Padahal Allah tidak memberikan rizki duniawi itu kepada orang yang usahanya keras dan berambisi saja, sehingga seluruh hidupnya untuk mengejar rizki, namun juga bagi orang yang tidak menginginkannya. Coba direnungkan, betapa banyak orang yang berambisi mengejar rizki sampai siang malam justru kondisinya dalam kesengasaraan dan kemiskinan. Kesengsaraannya dan kemiskinan malah dirasakan sesuai dengan ambisinya mengejar dunia.  Berbeda lagi dengan orang yang sadar betul bahwa rizki itu sudah diatur, masing-masing orang sudah ada jatahnya dari Allah, sehingga keimanannya kepada takdir tentang rizki membawa dirinya berlaku pola hidup sederhana, sehingga Allah berikan harta kepadanya dan semakin memuliakannya dengan harta tersebut.

Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah –orang yang benar dan dibenarkan- menceritakan kepada kami, “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama empat puluh hari juga, kemudian menjadi mudhghah selama empat puluh hari juga. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya lalu ia meniupkan ruh kepadanya dan diperintah untuk menuliskan empat perkara: menuliskan rizki, ajal dan amalnya, serta ia menjadi orang yang bahagia atau sengsara.” (HR Bukhari Muslim).

Orang beriman harus yakin betul bahwa Allah telah menetapkan rizki kepada setiap manusia saat diciptakanNya dengan adil sampai manusia menemui ajalnya. Rizki manusia tidak akan habis sebelum dicabut nyawanya. Amal manusia akan berakhir atau berhenti pada saatnya sesuai dengan ketetapanNya. Demikian juga kebahagiaan dan kesengsaraan yang dialami dan akan menimpa manusia, semua telah diketahui dan ditetapkan oleh Allah subhana wata’ala. Bagi orang yang beriman itulah bagian dari cara beriman kepada takdir Allah dengan benar.

Bagaimana dengan orang yang menyelisihi hadist Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud tersebut? Mereka menganggap bahwa rizki itu diperoleh dari hasil usahanya dan berfaham bahwa semua itu terjadi karena adanya sebab-akibat dari apa yang mereka kerjakan. Bahkan mereka mengatakan Allah tidak adil atas penetapan rizki kepada manusia. Pendapat mereka tersebut boleh jadi  menjadikan kekufuran bagi mereka terhadap takdir Allah dan gugurlah iman mereka. Keadaan mereka seperti keadaan orang kafir jaman Rasulullah atau umat terdahulu, sebagaimana Allah berfirman: “dia Qorun berkata, sesungguhnya aku diberi harta itu, semata-mata karena ilmu yang ada padaku. Tidaklah dia tahu, bahwa Allah telah mebinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka”. (QS Al-Qasas: 78).