Wednesday, September 24, 2008

MENGAPA WANITA “HARUS” BEKERJA ?

Oleh : Endangpras Rum Budi

Dalam judul di atas, kata “harus” diberi tanda petik, karena memiliki 2 makna, pertama bermakna memang keadaan mengharuskannya bekerja, misalnya wanita lajang yang sudah mampu mandiri, atau janda yang memiliki tanggungan anak, atau istri yang karena uzur suaminya tidak mampu bekerja lagi, maka wanita memang harus bekerja agar tidak menjadi beban orang lain. Makna kedua adalah keadaan tidak mengharuskannya bekerja tetapi tuntutannya yang mengharuskan dia bekerja, misalnya karena keinginannya agar memiliki eksistensi, atau agar kebutuhannya (mungkin lebih tepat keinginannya) terpenuhi, atau gara-gara ia sudah sekolah tinggi, sehingga sayang kalau kemudian ia tidak bekerja. Tulisan ini mengajak kita semua untuk merenungkan kembali, niat kita mengapa harus bekerja?

Dalam menjawab pertanyaan pada judul diatas, alasan yang sering diajukan para wanita adalah karena kebutuhan yang semakin meningkat, atau karena mahalnya harga barang-barang, atau karena tuntutan yang semakin beraneka ragam, termasuk biaya sekolah anak-anak untuk masuk ke sekolah favorit, agar anak-anaknya memiliki masa depan yang cerah. Dan kalau hanya mengandalkan penghasilan ayahnya saja, maka kebutuhan-kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi.
Jawaban yang paling mungkin berikutnya adalah, sudah jamannya sekarang wanita harus memiliki jati diri, agar diakui oleh para lelaki – termasuk suaminya – tentang keberadaannya. Bahkan kesuksesan seorang istri terkadang dilihat dari keberhasilan perannya di luar rumah. Sedangkan wanita yang “hanya” memiliki peran di dalam rumah saja, tidak lagi membanggakan.

Sesungguhnya laki-laki dan wanita memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama di hadapan Allah, tetapi dalam kehidupan berjamaah dengan suami dan anak-anaknya, harus ada yang menjadi pimpinan. Dan Allah menugaskan sang suami sebagai pimpinan, karena Allah telah memberi kelebihan kepada kaum lelaki: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, ......". (QS An-Nisaa:34). Tugas sebagai pemimpin menuntut kekuatan dalam arti fisik maupun mental, keteguhan hati bahkan terkadang membutuhkan adu fisik maupun adu mental. Wanita dengan kodrat kelembutannya, tidak akan mampu memenuhi kewajiban itu.

Dan karena kelebihannya itu, maka suami diberi kewajiban kedua yakni memberi nafkah keluarga yang dipimpinnya. Memberi makan dan minum seperti yang dimakan dan diminumnya, menyediakan tempat tinggal – bukan memberi tempat tinggal – dimana sang suami tinggal. Allah berfirman "Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. .....".  (QS Ath Thaalaq:6).

Banyak kesalahan persepsi terjadi atas surat An-Nissa 34, yakni suami merasa diberi kekuasaan penuh untuk memimpin keluarganya, sehingga dia bisa memerintahkan istrinya apa saja, dan sang istri harus mentaatinya, mutlak 100%. Itu barangkali yang dimaksudkan “suarga nunut neroko katut”. Persepsi ini kemudian dipublikasikan dan dianggap bahwa wanita adalah makhluk yang tertindas di rumahnya sendiri. Maka muncullah gerakan-gerakan untuk meningkatkan peran wanita. Sayangnya peran yang dikembangkan itu bukan untuk kembali kepada fitrahnya sebagai wanita, tetapi justru untuk menentang fitrahnya. Bahwa wanita bukanlah makhluk yang lemah, dia mampu berperan seperti lelaki, termasuk memimpin. Semakin banyak wanita yang menjadi pimpinan, maka perjuangan untuk meningkatkan peran wanita semakin berhasil.

Di sisi lain, akibat dari makin kuatnya peran wanita di luar rumah adalah makin lemahnya kedudukan laki-laki. Dia harus berebut peran dengan wanita, termasuk dengan istrinya. Dan ketika kedudukan istri di tempat kerjanya semakin kuat, suami menjadi takut untuk mengingatkan kedudukannya sebagai seorang istri. Bahkan lebih fatal lagi jika suami punya perasaan takut kalau-kalau istrinya kehilangan pekerjaan dan dia harus menanggung semua kebutuhan keluarganya sendirian. Maka dia “harus” relakan haknya dikurangi oleh istrinya. Tidak jarang seorang istri tidak sempat menyiapkan sarapan untuk suaminya karena harus buru-buru berangkat kerja. Parahnya lagi jika sang istri hanya sempat meninggalkan pesan untuk suaminya, bahwa kalau mencari lauk, di kulkas ada telur, tahu, tempe semuanya tinggal menggoreng, kalau perlu mie instan di lemari juga ada, dan kalau pengin minuman hangat, di termos sudah tersedia air panas. Begitulah!!! Saking sibuknya sorang wanita berperan di luar rumah, banyak hak-hak suami yang dipangkasnya, dan dia akan menggantinya dengan sebagian penghasilannya. Dan dengan kesepakatan keduanya, selesailah persoalan. Benarkah begitu?

Mari kita coba renungkan kembali. Kalau seorang suami bekerja, itu karena ia sedang menjalankan kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya agar dapat menafkahi keluarga yang dipimpinnya. Jadi tidak salah kalau laki-laki bekerja itu dikatakan sedang beribadah. Bagaimana dengan istri yang bekerja di luar rumah? Apakah ia sedang beribadah menegakkan ekonomi keluarga? Jika ya, maka kita harus mencari tuntunannya, karena dalam ibadah kita tidak bisa bertanya boleh atau tidak, tetapi yang kita tanyakan adalah ada tuntunannya atau tidak. Kalau bukan ibadah, lalu apa? Apakah itu urusan dunia? Kalau urusan dunia, kita harus mencari larangannya. Maka, mari kita renungkan kembali, mengapa wanita “harus” bekerja???

Monday, September 22, 2008

Setelah Idul Fitri

Oleh: M. Rum Budi S.

Jika puasa itu menghantarkan kita merasakan nikmat dekat dengan Allah, tentu kita akan merasakan pula bagaimana pahitnya ditinggalkan bulan puasa ini. Bagi orang ahli ibadah yang senantiasa bertaqarrub kepada Allah, mereka akan terasa tersiksa batinnya ketika jauh dari Allah. Sholat tarawih (sholat tahajud), tadarus alquran, getol bersedekah, dan berlatih mengendalikan nafsu makan-minum, sex, lisan, dan hati adalah nikmat Allah yang sayang bila tidak sampai membekas setelah usai bulan ramadhan.

Apabila seseorang betul-betul tak bisa mengambil hikmah adanya puasa, sampai puasa berikutnya tak bisa merasakan nikmatnya selama berada dalam bulan pendidikannya Allah, selama puasa hanya dapat lapar dan haus belaka, walaupun puasa telah usai tetapi Allah tidak mengampuni atas dosa-dosanya maka rugilah dia. Cilaka bener orang itu tak ada perubahan akhlaknya setelah ramadhan, tingkah laku dan mentalnya sama saja sedikitpun tak berubah.

Menyedihkan memang bagi orang mukmin yang pada saat puasa disibukkan dalam urusan akherat sehingga bisa menerangi hatinya, tetapi setelah idul fitri, malah disibukkan dengan urusan dunia yang menggelapkan hati. Menyakitkan memang bagi orang mukmin kejujuran pada saat puasa tampak begitu jelas, tetapi begitu puasa usai berubah menjadi samar, bahkan yang menjadi kebiasaan lisannya adalah dusta. Padahal kejujuran adalah landasan semua kebaikan yang menghantarkan orang menuju surga-Nya, sedangkan dusta adalah pemimpinnya semua kesalahan dan akan menyeretnya menuju neraka.

Pada saat puasa dosa-dosa kecil bisa diredam, sehingga tidak berkembang menjadi besar, karena disetiap akhir malam melaksanakan sholat tahajud sambil menikmati kucuran aliran air mata memohon ampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Setelah hari raya idul fitri akhir malamnya berubah menjadi begadang tak berarti. Seolah-olah sholat tahajudnya tidak bermakna, mungkin pada saat sholat tarawih tidak didirikan atas dasar iman dan mengharap pahala Allah. Jangan meremehkan dosa-dosa kecil setelah idul fitri, karena dosa-dosa kecil itu boleh jadi dapat memunculkan beragam dosa besar menimbulkan murka Allah.

Antara Ramadhan yang satu hingga Ramadhan berikutnya, antar Jumat hingga hari Jumat berikutnya, antara satu hingga satu sholat berikutnya, diantara keduanya ada penghapus dosa selama bukan merupakan dosa besar”. (HR. Muslim).

Jadikan sholat tahajud berlanjut setelah idul fitri sebagai ibadah tambahan pada akhir malam, untuk senantiasa memohon ampunan atas dosa kesalahan apa yang dilakukan siang hari, mudah-mudahan Allah menempatkan ditempat terpuji. Sebagaimana firman Allah: “Dan pada sebahagian malam hari bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. (QS Al-Isra': 79).

Kebiasaan bersedekah di bulan puasa dengan memberi sebagian rezeki kepada orang miskin dan melindungi orang fakir, seharusnya tak akan pernah berhenti dibulan-bulan setelahnya, karena setiap kali seseorang menginfakkan hartanya, Allah memberikan karunia kepadanya kesehatan jasmani, ketenangan batin, dan keluasan rezeki. “ Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air dapat memadamkan api. (HR. Ahmad, Ibnu hibban, al-Hakim).

Mengistiqomahkan dalam membaca Alqur’an setelah puasa usai, kemudian memahami dan mengamalkan semaksimalnya adalah menolong kita pada saat nanti di hari kiamat. “ Bacalah al-Qur’an, sesungguhnya pada hari kiamat nanti al-Qur’an akan datang sebagai syafaat bagi pembacanya.” (HR. Muslim).

Setelah idul fitri dan sampai kapanpun juga, bagi orang mukmin seharusnya senantiasa berdoa semoga diberi ketetapan dalam nikmatnya beribadah, sebagaimana Firman Allah: “(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia). "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya". Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji."(QS Al Imran: 8-9).

Monday, September 8, 2008

Life is a Problem

Oleh : M. Rum Budi S.

Hidup itu masalah bung!. Manusia hidup itu tak pernah sepi dari masalah, ada saja masalah yang mengikuti perjalanan hidupnya. Manusia berjalan dari masalah satu menuju masalah lain, sepanjang umurnya sampai maut menjemput. Bahkan kematian itu sendiri adalah masalah karena manusia tidak tahu kapan datangnya kematian itu. Hidup dan matinya manusia itu bukan kehendak manusia itu sendiri, tetapi semua itu dikehendaki Allah, supaya manusia itu berbuat sebaik-baiknya menurut kehendak-Nya. “ Dia yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun “ (QS Al Mulk : 2).

Kadar masalah yang dihadapi manusia dari masing-masing zaman itu berbeda-beda. Tetapi serumit apapun masalahnya, manusia senantiasa menemukan jalan keluarnya. Manusia memang tidak dibebani masalah oleh Allah kecuali sekedar kesanggupannya, sehingga tingkat keberhasilan manusia dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi itu tergantung dari usahanya. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…….” (QS Al Baqarah: 286).

Ketika manusia berhasil dalam usahanya memecahkan suatu masalah, maka di dalam hatinya akan timbul kegembiraan dan dalam dirinya muncul rasa sukses. Dan bila manusia itu dalam usahanya itu mentok tak berdaya dalam menghadapi masalah maka perasaanya akan gundah-gelisah, bahkan sulit tidur dan seakan-akan hidupnya gagal total. Padahal kemudahan dan kesulitan merupakan takdir Allah kepada manusia untuk mengahapi masalah hidup. Oleh karena itu bila manusia tidak menghendaki kerumitan hidupnya, maka jangan lari dari masalah yang sedang dihadapi atau masalah itu jangan dibiarkan menggantung. Coba disadari betul bahwa masalah hidup itu harus dihadapi sebagai kenyataan, yang akan merangkai kemudahan dan kesulitan hidup ini.” Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan., Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap
". (QS Alam Nasyrah : 5-8)   

Karena masalah hidup manusia itu Given dari Allah, maka masalah itu sifatnya alami dan akan datang sendiri menghampiri manusia disetiap tahapan kehidupannya, ndak usah dicari dan diciptakan. Apapun posisinya manusia akan mengalami masalah dan pokok masalah dari semua masalah itu adalah islam. Dengan demikian selama manusia itu mau berjalan dengan cara islami, sebenarnya masalah-masalah hidup yang dihadapi akan mudah teratasi. Tetapi kebanyakan manusia tidak yakin dengan cara islam (dinul islam), justru cara kekafiran (cara barat) yang sering dipilih sebagai alternatife solusinya. Padahal Allah berfirman: “Sesungguhnya agama (cara hidup) yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. .............”. (QS Ali Imran: 19).  

Agama Islam memang dipilih oleh Allah sebagai problem solfer, dan rumusan yang paling ampuh di dalam Agama Islam untuk menghadapi semua permasalahan adalah sikap taqwa kepada Allah, yaitu menjauhi semua larangan-Nya dan memenuhi segala perintah-Nya. “................. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. (QS Ath Thalaq : 2).

Setiap cara yang ditempuh oleh orang mukmin dalam menghadapi masalah, semestinya mengikuti cara-cara yang ditempuh oleh para Nabi, para Siddiqin, para Syuhada dan para Sholihin, manusia yang telah jelas taatnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan jalan pemecahan yang telah disodorkan para Wali Songo atau orang yang dianggap wali oleh masyarakat.
Sesungguhnya lebih mengagumi cara hidup yang ditempuh oleh para wali itu dibandingkan dengan mengagumi cara hidup Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam, para sahabatnya, dan para ulama salafi shaleh adalah masalah besar kebodohan umat



Friday, September 5, 2008

Prof. Dr. Percuma

oleh: M. Rum Budi S.

Berangkat dari kekaguman saya kepada Pak Dosen yang bergelar Prof. Dr. berumur setengah baya itu, teman-teman mahasiswa sering menyebutnya orang pinter. Sebagai dosen senior kalau berkomunikasi dengan mahasiswanya dan sesama teman dosen, sikapnya sopan, kata-katanya santun, bahasanya mengalir bagus. Tampak di mata saya seperti orang sholeh yang kehidupan dunianya sangat menyenangkan. Secara materi jelas hartanya lebih dari cukup. Ketika presentasi dalam seminar pendapatnya gampang diterima, karena konsepnya yang sederhana dan aplikatif. Tak saya duga, ternyata beliau tidak mengenal Tuhannya, karena beliau hanya percaya bahwa kehidupan di jagad raya ada karena sendirinya dan rusak karena sendirinya. Dalam hati saya kaget dan bertanya kenapa beliau susah percaya kalau semua itu ada yang menghendaki atau ada penciptaanya?, padahal banyak ahli yang kapasitasnya setara dalam satu profesi, akan  mudah sekali membuktikan kebenaran Allah sebagai Maha Pencipta. Saya sadar itu masalah hidayah Allah dan terserah kehendak Allah. "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu (Ucapan Tauhid) dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang dzalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki". (QS Ibrahim : 27). 

Kekagumanku terus berubah lebih dari kecewa, karena beliau sang Prof. Dr. tersebut punya murid yang saya juga kenal, sebenarnya di bidang profesinya murid tersebut saya tahu nggak bodo-bodo amat, alur logikanya bagus juga. Tapi sama saja “setali tiga uang” dalam konsep keyakinannya, katanya: “bagaimana mungkin orang yang sudah mati, bisa dibangkitkan kembali?”. Dengan sedikit mengejek, teman saya tadi mencoba memancing kemarahan saya untuk menjawabnya. Tapi saya senang ngambil sikap diam, bukankah berbantahan dengan orang semacam itu menyesatkan?, karena saya pikir percuma saja, orang yang berbeda keyakinan kalau berdiskusi tentang keimanan ndak akan nyambung, tak akan mungkin bisa menemukan konklusinya. Orang-orang semacam itu sama saja, diberi jawaban atau tidak diberi jawaban, tetap saja tidak beriman. Saya ingat perbandingan antara orang yang beriman dengan Allah dan Hari Akhir dan yang tidak beriman itu, seperti  Firman Allah : Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)?. (QS Huud : 24)
.
Menurut pandangan masyarakat, orang yang sama-sama bergelar Prof. Dr., hidupnya di dunia sama-sama terhormat, tetapi kalau dicermati lebih lanjut dengan kacamata keimanan, sifat Prof. Dr. mukmin dan sifat Prof. Dr. kafir itu sangat berbeda sekali, apalagi kehidupannya di akherat nanti.  P
ercuma saja jadi orang bergelar Prof. Dr., mengakunya orang islam tapi keyakinannya jauh dari kebenaran Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad Sallahu’alaihi wassalam). Orang semacam itu saya sebut dengan gelar "Prof Dr. Percuma", gelar tersebut termasuk orang-orang yang bergelar Prof. Dr. di dalam kelompok pemikir islam liberal, muridnya Bpk. Ulil Abshor Abdalla (Tokok Islam Liberal Indonesia).