“Ustad Syafei hari ini bisa mengatakan hidup itu nikmat, mungkin kondisi saat ini relatif serba kecukupan, celengan uangnya mungkin banyak. Bagaimana jawaban orang hari ini, kalau mereka itu hidupnya dalam kondisi susah, apakah bisa menikmati hidup ini?”. Ustad Syafei nampak semangat sekali kalau diajak ngobrol yang beginian ini. Sambil menggeser tempat duduknya, “Begini Mas Wahyul, memang secara umum orang yang lemah ekonomi, sepertinya susah menikmati hidup ini. Tetapi sesungguhnya masyarakatpun sudah pada maklum bahwa uang bukan jaminan untuk menghindar dari susah, sakit, malas, lemah, tua, dan lain-lain lah. Uang bukan segalanya atau faktor utama menjadi penentu orang bisa menikmati hidup ini. Malahan sebenarnya kalau Mas Wahyul mau memperhatikan bagaimana orang-orang Borju Jakarta diperbudak oleh jabatan, terlalu sibuk dengan bisnisnya, atau bahkan dipermainkan anak buahnya. Mereka sering ngomong “banyak duit itu malah sering bikin pusing, banyak sekali hal yang dikorbankan”. Selebritis itu banyak uang, tetapi susah menikmati hidup, mereka mengeluh “prevacy – nya senantiasa terganggu oleh wartawan yang suka ceplas ceplos, kadang memang banyak ngawurnya”.
Ustad Syafei mengakui jaman sekarang ini memang jaman materialistis, kalau ndak punya uang sepertinya hidup itu tampak buram atau gelap, sehingga uang memang diperlukan, akan tetapi jumlah sedikit yang mencukupi kebutuhan hidup untuk taat kepada Allah lebih baik dari banyak uang namun melupakan taat kepada Allah. Jadi taat kepada Allah adalah kuncinya kenikmatan hidup itu sendiri. Mas Wahyul mengangguk-angguk dengan tausiah Ustad Syafei: “Ketika kekayaan itu tidak bisa menghantarkan dirinya bersikap bersyukur kepada Allah, maka keserakahan membentuk kebiasaan hidupnya, sehingga hidup itu senantiasa terbelenggu oleh sikap perilaku yang tidak pernah cukup. Selama keserakahan bersemayam dalam diri kita, walaupun harta kita melimpah, sebenarnya kita itu berada dalam kemiskinan yang sejati. Orang yang sengsara adalah orang yang miskin di dunia serta kebiasaan hidupnya jauh dari ketaatan kepada Allah. Sedangkan orang yang dimudahkan mencari uang dan membelanjakannya di jalan Allah, itulah orang yang digampangkan menikmati hidup. Tetapi sesungguhnya berapapun uang yang sedang kita cari maupun yang kita miliki, nikmatilah dengan cara taat kepada Allah”.
Ustad Syafei menegaskan kembali untuk Mas Wahyul, bahwa yang membedakan orang memahami hidup itu nikmat adalah cara berfikirnya. Berfikir secara islami sebenarnya lebih tepat, lebih benar, lebih mudah, dan lebih menolong, untuk memahami nikmat hidup itu dimana dan kapanpun juga. Oleh karena itu ikutilah agama islam bagaimana mengajarkan berfikir tentang nikmat hidup itu, pasti kita akan dibawanya menuju puncak nikmat hidup di dunia dan di akhirat nanti.