Tuesday, June 29, 2010

Sesama Manusia, Bolehkah Saling Merendahkan?

Oleh : bu RumBudi

Ibrahim, sang Nabi yang mengajarkan Tauhid untuk pertama kali, bukan berasal dari keturunan orang yang taat kepada Sang Pencipta yang Esa. Ayahnya adalah penyembah berhala.

Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata". [6:74]

Nuh, Nabi yang dikatakan gila oleh kaumnya karena membuat perahu di puncak gunung, memiliki anak yang tidak taat kepada Allah yang Esa.

Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." [11:42]
Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari adzab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. [11:43]

Luth, Nabi yang kaumnya lebih memilih homoseks, memiliki istri yang tidak mau menngikuti ajakannya untuk taat kepada Allah.

Kemudian Kami selamatkan dia (Luth) dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).[7:83]

Allah membuat istri Nuh dan istri Lut perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)" [66:10]

Asiah, istri Fir'aun adalah istri yang taat kepada Allah walaupun dia hidup dalam lingkungan Fir'aun yang super sombong karena menolak keberadaan Allah, bahkan Fir'aun mengaku sebagai tuhan yang bisa mennghidupkan dan mematikan. Asiah rela disiksa suami-nya demi mempertahankan keimanannya. Asiah berdoa untuk dibangunkan rumah di surga, dan Allah mengabulkan.

Dan Allah membuat istri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim",[66:11]

Sesungguhnya keturunan, pasangan hidup, atau orang tua tidak bisa menjamin dapat memberikan kualitas keimanan yang sama. Masing-masing orang akan bertanggung jawab sendiri-sendiri atas apa yang telah diperbuatnya. Tidak ada yang bisa menolong kecuali Pertolongan Allah, pada hari pembalasan nanti.

Lalu, apakah kita akan bangga karena dilahirkan oleh orang tua yang berdarah "biru", atau berharta "banyak", berotak cerdas?

Apakah kita akan bangga karena memiliki pasangan hidup seorang "da'i", 'ulama, atau kyai?
Apakah kita akan bangga karena memiliki anak2 yang pandai mengaji, tapi shalatnya banyak absen-nya?
Apakah kita bangga dengan gelar pendidikan yang telah kita raih?
Apakah kita bangga dengan atribut2 duniawi???

Seringkali KEBANGGAAN itu membuat kita merasa lebih tinggi derajatnya dari pada orang lain....
Manusia sering membuat kualifikasi untuk membedakan derajat sesama-nya..
Sementara Sang Pencipta-lah yang lebih mengetahui kualitas ciptaan-Nya...