Monday, March 16, 2009

I DON'T LIKE MONDAY

Oleh : M. Rum Budi S.

Hampir setiap orang mengatakan “ I Don’t Like Monday” pada saat akan memulai aktivitas setelah berakhir pekan. Setiap hari Senin datang, virus malas itu langsung menyerang semangat seorang pekerja ataupun pelajar. Seakan-akan hari Senin adalah waktu yang membosankan. Hari Senin diidentikkan dengan hari yang melelahkan karena itu berarti kembali kepada rutinitas kerja atau belajar. Sudah menjadi ketentuan umum bahwa setiap pekerjaan yang rutin dan tidak ada variasinya itu memang sangat membosankan. Dan rasa bosan itu yang menimbulkan penyakit malas.

Ada beberapa cara orang dalam menikmati hari liburnya pada saat weekend di hari Ahad dengan cara yang salah, seperti berlebihan dalam makan, minum dan istirahat. Padahal kalau banyak makan,minum, dan tidur itu kandungan lemak badan meningkat dan menyebabkan gerakan otot jadi kaku sehingga akibatnya sifat malas dan lamban akan tumbuh subur. Barangkali ini adalah salah satu sebab Allah dan Rasul-Nya melarang untuk berlebihan dalam makan dan minum. Allah berfirman: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS al-A’raf: 31).

Umar ra berkata, “Jagalah dirimu dari sifat rakus pada makanan dan minuman. Karena, hal itu akan merusak badan, mewariskan penyakit , membuat malas melakukan sholat. Wajib atas kamu menjauhi sifat rakus pada makanan dan minuman, karena hal itu menyehatkan badan dan menjauhi sikap berlebih-lebihan. Allah Subhanallah wata’ala murka atas orang saleh yang gemuk (rakus pada makanan-minuman). Sesungguhnya seseorang tidak akan binasa hingga nafsunya mempengaruhi agamanya”. (Dalam Kitab Kanzul ‘Ummal karangan Ala’uddin) 

Bagi orang mukmin sejati, tidak ada ucapan “ I Don’t Like Monday”, sebab mereka mengetahui arti rentetan hari merupakan ladang bagi kehidupan di akhirat nanti. Mereka adalah para penyuluh ajaran Rasulullah Salallaahu’alaihi wassalam, yang senantiasa menanti hari Senin untuk melaksanakan Puasa Sunnah Senin-Kamis mengikuti jejak Rasul-Nya dalam mencapai ridha Allah. Nabi justru senang ketika hari Senin datang, karena pada hari Senin dan Kamis, ditampakkan amal perbuatan manusia, dan Nabi sangat ingin ketika amal ditampakkan beliau dalam keadaan puasa. Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Amal-amal ditampakkan (dilaporkan) setiap hari Senin dan Kamis. Maka aku senang manakala amalku ditampakkan sedang aku berpuasa” [HR Ahmad dan Tirmidzi].

Ketika orang lain terjebak dalam keburukan karena malas bekerja di hari Senin, orang yang puasa Senin - Kamis justru menjadi pionir dalam kebaikan dengan bekerja giat sebagai upaya ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah. Apapun pekerjaanya harus diniatkan secara ikhlas dan dijadikan sebagai sarana untuk bertasbih-mendekatkan diri kepada Allah.  

Tidak ada hari yang perlu dibenci, semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam semua hari, entah beramal baik atau buruk, entah masih hidup atau dijemput mati, semua kesempatan itu berada pada hari Senin sampai Ahad, tidak ada hari yang lain. Ada seorang pemuda pernah bertanya kepada Rasulullah Salallaahu’alaihi wassalam, tentang amal harian yang bisa memasukkan seseorang ke surga atau amal harian yang paling disukai Allah, maka Rasulullah bersabda: “Kamu harus banyak sujud kepada Allah, karena sesungguhnya tidaklah kamu melakukan sujud kepada Allah, melainkan Allah meninggikan bagimu satu derajat karenanya dan menggugurkan darimu satu kesalahan“. (HR. Muslim, Abu Daud, dan Nasa’i). Dengan cara memperbanyak sholat sunnah setiap harinya, Insya Allah akan menghantarkan seseorang menuju surga Allah. 

Mudah-mudahan kita tetap terus bersemangat bekerja walaupun hari Senin, dan mohonlah kepada Allah untuk tetap bersemangat beribadah setiap harinya. Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam bersabda: “Bersemangatlah, mendekatlah, bergembiralah, dan mohonlah pertolongan kepada Allah di waktu pagi, sore, dan sebagian waktu di akhir malam“ (HR. Bukhari).