Friday, July 18, 2008

Double Gardan

Oleh: M. Rum Budi S.  

Sudah menjadi kenyataan atau kelaziman jaman sekarang ini bahwa suami-istri bekerja. Menurut pendapat umum, kalau suami-istri bekerja, penghasilan suatu keluarga secara matematis akan lebih besar karena berpenghasilan ganda, sehingga nampak oleh orang lain perekonomian keluarga itu terasa lebih mapan dibandingkan dengan kalau istri tidak bekerja. Istilah di masyarakat untuk suami-istri yang semuanya bekerja disebut berpenghasilan double gardan.


Secara prinsip dalam agama double gardan itu tidak dilarang. Rasullulloh dan Siti Khotijah adalah suami-istri yang semua bekerja dan berpenghasilan. Boleh dan tidaknya istri bekerja sebenarnya tergantung dari kesepakatan suami-istri. Selama suami mengeluarkan ijin kepada istri untuk bekerja, maka syah-syah saja istri itu bekerja dengan tetap mengikuti rumusan taat kepada suami. Dalam membangun bentuk kesepakatan suami-istri itu harus berdasarkan keikhlasan yang berpegang teguh pada hak dan kewajiban sebagai suami-istri. Setiap keputusan yang diambil oleh suami wajib mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya, yang adil dan ikhsan dengan mempertimbangkan keberatan-keberatan yang diajukan oleh istri. Kewajiban suami bekerja adalah memberi nafkah kepada istri, sedangkan hak istri adalah mencukupkan pemberian suami. Istri bekerja itu bukan kewajiban tetapi hanyalah kebolehan saja, tergantung apa yang telah menjadi keputusan suami. Sampai kapanpun istri bekerja itu tidak akan bisa merubah hak dan kewajiban di dalam keluarga sebagai suami-istri yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya. Istri boleh saja bekerja ketika gaji suami tak bisa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan belanja bulanan keluarga yang kurang. Istri boleh juga bekerja karena kepingin mengaktualisasikan dan menunjukkan bahwa kemampuannya bermanfaat atau dibutuhkan orang lain. Istri syah-syah saja bekerja karena kawatir suami selingkuh, suami lepas tanggung jawab, atau suami meninggal dunia lebih dahulu.

Kendala suatu keluarga tetap berada pada suami. Apabila suami memutuskan untuk mengendalikan bahtera rumah tangganya itu diperlukan Surat Keputusan Istri Bekerja (SKIB), maka istri memang sebaiknya bekerja dengan tidak menjadikan kewajiban sebagai istri tebengkalai. Selama istri bekerja tetap berpegang teguh kepada jalur mengikuti keputusan suami, maka Insya Allah akan bernilai ibadah.
Ketika keputusan sudah diberikan kepada istri untuk bekerja, maka besarnya penghasilan istri tidak perlu disesali dan dipermasalahkan. Penghasilan istri itu tidak bisa ditentukan harus lebih besar, hampir sama atau lebih kecil dari gaji suami. Rejeki Allah yang mengatur. Besarnya gaji istri, memang kadang berpengaruh terhadap perasaan suami. Umumnya rasa percaya diri suami akan terangkat lebih tinggi apabila istri bekerja hanya sebagai sambilan saja, artinya gaji istri lebih kecil atau hampir sama dengan suami.

Tetapi apabila gaji istri lebih besar perasaan suami memang sering terganggu.
Sesungguhnya apabila suami-istri menyadari bahwa istri bekerja karena ijin suami dan suami bersyukur karena istrinya bisa menambah penghasilan, maka tak perlu keharmonisan keluarga itu terganggu. Jalannya bahtera dalam rumah tangga itu tergantung kesepakatan yang terus menerus secara istiqomah dibangun oleh suami-istri sesuai peraturan agama. ...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya,...(QS Al-Baqarah 233).

1 comment:

Yudha Yudhanto said...

Pak Rum..katanya ada keterangan yang menyebutkan..bahwa infaq yang paling josss dari istri kepada suami adalah memberikan penghasilan/harta untuk keluarga..itu pernah ada hadistnya ngak pak??